SALUTI

BENVENUTO PER VOI ! ! !

Thursday, August 25, 2011

Hot Water Baths Mengeruda , So'a- Pemandian Air Panas Mengeruda, So'a

Mengeruda hot water bath at Soa, located approximately 50 miles from Riung to the south at an altitude of approximately 1000 meters above sea level. Mengeruda hot water bath is one of the hot springs which arise naturally from the ground is flat with an average temperature of 30-0 degrees Celsius. Foreign tourists who entered a paid Rp 2,500 per person. Domestic tourists Rp 1,000 per person.

Pemandian air panas Mengeruda di Soa yang terletak kurang lebih 50 km dari Riung ke arah Selatan pada ketinggian kurang lebih 1000 meter di atas permukaan laut. Pemandian air panas Mengeruda adalah salah satu pemandian air panas yang timbul secara alami dari tanah yang rata dengan suhu rata-rata 30-0 derajat Celcius. Wisatawan asing yang masuk dipungut bayaran Rp 2.500 per orang. Wisatawan domestik Rp 1.000 per orang.

The tourists who come to it all day umumnnya soak in water that is low in sulfur. In the afternoon they continued their journey. Generally to Bajawa, the capital of the valve Ngada very cold because it lies at an altitude of 1200 meters above sea level. At first, the hot water bath pemandiang Mengeruda is natural for farmers in surrounding areas who have tired of working all day in the fields.

Para wisatawan yang datang ke situ umumnnya berendam sepanjang hari di air yang sedikit mengandung belerang itu. Sore harinya mereka melanjutkan perjalanan. Umumnya ke Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada yang berudara sangat dingin karena terletak pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Pada awalnya, pemandian air panas Mengeruda adalah pemandiang alam bagi para petani di sekitarnya yang telah lelah bekerja seharian di ladang.




Before coming home they submerge themselves in it so fresh again. With a cost of billions of dollars currently Mengeruda fence wall. Water sources that grow also surrounded by high walls, but the flow of the river is allowed to flow naturally. That's where farmers and tourists soaking. With the cost of not a few also built a pool in which the water flowed from the hot springs. But unused, rusty pool by sulfur and minerals so it looks like a buffalo wallow. Maybe once Ngada Government intends to make the spa but what power could not be realized.

Sebelum pulang ke rumah mereka merendamkan diri di situ sehingga segar kembali. Dengan biaya milyaran rupiah saat ini Mengeruda dipagar tembok. Sumber air yang tumbuh juga dikitari tembok yang tinggi, tetapi alur sungai yang mengalir tetap dibiarkan secara alami. Di situlah para petani dan wisatawan berendam. Dengan biaya yang tak sedikit juga dibangun kolam renang yang airnya dialirkan dari sumber air panas. Tetapi belum terpakai, kolam renangnya sudah karatan oleh belerang dan mineral sehingga tampak seperti kubangan kerbau. Mungkin tadinya Pemda Ngada berniat membuat spa namun apa daya tak bisa direalisasikan.

From January to September, tourists visiting the Mengeruda only 200 people. Compare with 2600 people Riung visited by tourists. The swimming pool was built redundant because the foreign and domestic tourists and farmers to choose a bath or soak themselves in hot water stream flowing. Currently people in skitar hot springs were anxious or nervous about the future government did not allow more farmers into the hot springs that belong to them for fence wall around with Balinese architecture. Or they worry that those who are poor it must also pay entrance to bathe in hot springs of their own. Because the management of hot water was directly managed by the government.

Sejak bulan Januari sampai bulan September, wisatawan yang berkunjung ke Mengeruda hanya 200 orang. Bandingkan dengan Riung yang dikunjungi 2600 orang wisatawan. Kolam renang yang dibangun mubazir karena para wisatawan asing dan domestik beserta petani memilih mandi atau berendam diri di sungai air panas yang mengalir. Saat ini masyarakat di skitar sumber air panas itu resah atau cemas kalau kelak Pemda tidak memperkenankan lagi para petani masuk ke sumber air panas yang menjadi milik mereka karena telah dipagar tembok keliling dengan aristektur Bali. Atau mereka khawatir kalau mereka yang miskin itu juga harus membayar masuk untuk mandi di sumber air panas mereka sendiri. Karena pengelolaan air panas itu langsung dikelola oleh Pemda.

Lamalera (Hunting the Whale) - Lamalera (Perburuan Ikan Paus)

Told of the action group of fishermen fishing in the sperm whale or techniques with traditional methods of the stone age. This is the line of their livelihoods have not changed since hundreds of years ago and has not been touched by technology.

Menceritakan tentang aksi sekelompok nelayan dalam penangkapan ikan paus sperma dengan metode tradisional atau teknik zaman batu. Inilah garis penghidupan mereka belum berubah sejak beratus-ratus tahun silam dan belum tersentuh teknologi.


Amazing images. A group of fishermen with a skilled, just rely on agility and great courage, their catch to catch the sperm whale 75 feet long, they will use for the provision of various materials needs and enough food for their village. Two fishing boats work together, while their leader hung in the air when the spear stabbed body of this whale. The hunt took place in Indonesian waters, they fought more than six hours, using traditional spears and knives to subdue this whale whales .- This they called 'Koteklema'. Eventually, the fishermen of Lamalera (a village located south of the island of Lembata in Indonesia), can kill sperm whale is a very traditional way.

This is all very much different from the whaling by the Japanese fishing vessel, which uses Harpoon grenades to slaughter these fish to their fishing industry interests.

Gambar yang mengagumkan. Sekelompok nelayan dengan trampil, hanya mengandalkan ketangkasan dan keberanian yang luar biasa, mereka menangkap untuk menangkap ikan paus sperma sepanjang 75 kaki, yang akan mereka manfaatkan bagi penyediaan berbagai bahan kebutuhan dan makanan yang cukup untuk kampung mereka. Dua perahu nelayan bekerja sama, sedang pimpinan mereka menggantung di udara ketika tombaknya menghunjam tubuh ikan paus ini. Perburuan ini terjadi di perairan Indonesia, mereka berjuang lebih dari enam jam, dengan menggunakan tombak dan pisau tradisional untuk menundukkan ikan paus ini.- Ikan paus ini mereka namai ‘Koteklema’. Akhirnya, nelayan dari Lamalera (suatu kampung yang terletak disebelah selatan pulau Lembata di Indonesia), dapat membunuh paus sperma ini dengan cara sangat tradisional.
Ini semua sangat jauh berbeda dengan penangkapan ikan paus oleh kapal nelayan Jepang, yang menggunakan granat harpoon untuk membantai ikan ini untuk kepentingan industri perikanan mereka. 

These fishermen set sail from Lamalera with sail woven from leaves gebang and each vessel is hand-made, with no use of nails or metal. Ropes are made from spun fiber palm leaves and hibiscus wood fiber. They were poor, they settled the rocky island and not flat, very little land that can be utilized for agriculture. The main income depends only on the abundance of fishing activities such as marlin, tuna, stingray, turtle, octopus and lobster. During the fishing season "Lefa Nue" from May to October, the villagers hunt whales, sharks and dolphins. However, there is a sense of worry about the future of the people here, the number of whales has been declining, the hunt is now less than five years ago. This year they can only catch three whales.

"If there is no peace between us, there would be no good whaling," said Anna Bataona the villagers there. They believe that there should be harmony of living on land with the sea, peace on land will provide good hunting results.

Nelayan ini berlayar dari Lamalera dengan layar perahu yang ditenun dari daun gebang dan masing-masing kapal adalah buatan tangan, dengan tidak menggunakan paku atau metal. Tali temali dibuat dari pintalan serat daun telapak tangan dan serat kayu waru. Mereka miskin, mereka bermukim dipulau yang berbatu-batu dan tidak datar, sangat sedikit lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian. penghasilan utama hanya bergantung pada kegiatan penangkapan ikan yang berlimpah seperti ikan marlin, ikan tuna, stingray, penyu, ikan gurita dan udang laut. Selama musim melaut “Lefa Nue” dari bulan Mei sampai Oktober, orang desa ini berburu ikan paus, ikan hiu dan dolfin. Bagaimanapun, ada rasa kawatir akan masa depan dari masyarakat disini, jumlah ikan paus ini sudah semakin menurun, perburuan sekarang lebih sedikit dibanding masa lima tahun yang lalu. Tahun ini mereka hanya dapat menangkap tiga ikan paus.

“Jika tidak ada damai di antara kita, tidak akan ada penangkapan ikan paus baik,” kata Anna Bataona orang desa disana. Mereka percaya bahwa harus ada harmony penghidupan didarat dengan dilaut, kedamaian didaratan akan memberikan hasil perburuan yang baik.