SALUTI

BENVENUTO PER VOI ! ! !

Sunday, August 14, 2011

Mirror Stone Cave

   About 10 km from the center of Labuan Bajo to the one of the tourist object called  "Batu Cermin" cave. Before entering this area you must first go  to the office for registration , because for beginners entering the cave should not be alone worried  you could lose your way in the cave.

Are accompanied by your ranger entered the cave with a candle or a flashlight because inside cave is very dark. By using these lights in the cave you can see the turtle fossils, sculptures, stalagmite,stalagtite etc. And the deeper you can see the reflection of sunlight into a stone that is very high and white, with the reflection of light you could see your shadow in front of the stone so thats why called  mirror stone cave .

Bena Megalithic Village - Kampung Megalitik Bena

Bena is the name of a traditional village located in the Village Tiworiwu, District Aimere, Ngada. The village is situated at the foot of Mount Inerie about 13 miles south of the City Bajawa. This traditional village famous for the existence of a number of megalithic buildings that are owned and governance life of its people who still maintain the authenticity of the township. Bena traditional village located right on the slopes of Mount Inerie rather prominent.

BENA adalah nama sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Kampung adat Bena terletak tepat di lereng Bukit Inerie yang agak menonjol.

Locals call this place like we were on the ship because the elongated shape like a boat. It is said that according to a credible story for generations, in ancient times a large ship had stranded on the mountain slopes. The ship can not sail again and continue stranded until the water finally receded and away from that place.

Warga setempat menyebut tempat ini seperti berada di atas kapal karena bentuknya memanjang seperti perahu. Konon menurut cerita yang dipercaya secara turun temurun, pada zaman dahulu sebuah kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung itu. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut dan menjauh dari tempat itu.


Then petrified and wrecks on it then used by local communities as settlement sites. Bena village has its own attraction for tourists because of megalithic buildings of the ancient composition of rocks. No one knows for sure who founded the megalithic buildings, but local people believe that the stones are arranged by himself by a mighty man named Dhake.

Bangkai kapal kemudian membatu dan di atasnya kemudian digunakan masyarakat setempat sebagai lokasi perkampungan. Perkampungan Bena mempunyai daya tarik sendiri bagi para wisatawan karena bangunan megalitik berupa susunan batu-batuan kuno. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang mendirikan bangunan megalitik tersebut, namun masyarakat setempat percaya kalau bebatuan tersebut disusun seorang diri oleh seorang lelaki perkasa bernama Dhake.

According to local residents, a time came a group of people and build a settlement at the site which later was named Bena. Uniquely, among them was a man named Dhake are determined to create a village that is grand and beautiful. So timbulah idea in mind to design the township to include large stones as decoration.

Menurut warga setempat, suatu waktu datanglah sekelompok orang dan membangun sebuah perkampungan di tempat tersebut yang kemudian diberi nama Bena. Uniknya, di antara mereka ada seorang lelaki bernama Dhake yang bertekad ingin menciptakan sebuah kampung yang agung dan indah. Maka timbulah gagasan dalam benaknya untuk merancang perkampungan itu dengan menyertakan batu-batu besar sebagai hiasannya.

Encouraged by his idea, he then went to the beach Aimere which is about one hundred kilometers from the township Bena. From there he took a large stone slab shaped long or too pointed, and endured until the Bena. The stones are then arranged in such a way, some standing and some are left flat. Arrangement of stones that is what is currently known as megaliths.

Terdorong oleh gagasannya itu, ia kemudian pergi ke Pantai Aimere yang berjarak sekitar seratus kilometer dari perkampungan Bena. Dari sana ia mengambil batu-batu besar berbentuk lempengan panjang atau pun meruncing, lalu dipikulnya hingga ke Bena. Batu- batu itu kemudian disusun sedemikian rupa, ada yang berdiri dan ada pula yang dibiarkan mendatar. Sususan batu-batu itulah yang saat ini dikenal dengan megalit.

Guests who visit will see clearly what is meant by Megalit it. The form is simple form of arrangement of stones that is organized and located right in the middle of the township. On the stone megaliths was apparent that the former foot is believed to be local people's feet Dhake. According to the story, at the time of building this Bena village, stones that bear Dhake of Aimere, still soft and not hard as there are now so used Dhake apparent footprints in stone. The visitors who come to this place will find rows of houses that are still very traditional and are located opposite each other.

Para tamu yang berkunjung akan melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan megalit itu. Bentuknya sederhana berupa susunan batu-batu yang teratur dan berada tepat di tengah perkampungan. Pada batu megalit ini terlihat jelas bekas telapak kaki yang diyakini masyarakat setempat adalah telapak kaki milik Dhake. Menurut cerita, pada saat membangun kampung Bena ini, batu-batu yang dipikul Dhake dari Aimere, masih lembek dan tidak sekeras yang sekarang ada sehingga bekas tapak kaki Dhake nampak jelas di atas batu. Para pengunjung yang datang ke tempat ini akan menemukan jejeran rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional dan terletak saling berhadapan.

Traditional houses are often referred to PEO, made of boards shaped stage, roofed reed combined with bamboo walls on the front porch measuring approximately 10 by 10 meters. In the center of the village there is a custom built monuments such as lopo (Madhu) and a small house called bhaga. Both of these buildings by the local community is considered as a unifying symbol of the tribe who occupy the township. Local people are truly determined to maintain the authenticity of the township. All homes built to resemble a traditional house and not allowed to build houses with a mix of modern style.

Rumah-rumah adat yang sering disebut peo ini, terbuat dari papan berbentuk panggung, beratap alang-alang dipadukan dengan dinding bambu pada teras depan yang berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Di bagian tengah kampung terdapat monumen adat yang dibangun seperti lopo (madhu) dan sebuah rumah kecil yang disebut bhaga. Kedua bangunan ini oleh masyarakat setempat dianggap sebagai simbol pemersatu dari suku yang menempati perkampungan itu. Masyarakat setempat benar-benar bertekad untuk mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Semua rumah dibangun menyerupai rumah adat dan tidak diizinkan membangun rumah dengan campuran yang bergaya modern.

Electricity was not allowed so it is only used for lighting the lamp lights. It is deliberately conditioned to maintain the image of the corresponding historical indigenous settlement construction. Bena village community is generally friendly to visitors, where every visitor who comes must be greeted with a smile, a greeting. We can wonder about the culture they have and very well will be explained to us about the local culture.

Listrik pun tidak diizinkan sehingga untuk penerangan hanya digunakan lampu pelita. Hal ini sengaja dikondisikan untuk mempertahankan citra perkampungan adat tersebut sesuai sejarah pembangunannya. Masyarakat kampung Bena umumnya ramah terhadap pengunjung, dimana setiap pengunjung yang datang pasti disambut dengan senyuman, sebagai sapaan. Kita bisa bertanya-tanya tentang budaya yang mereka miliki dan dengan sangat baik akan dijelaskan kepada kita perihal budaya setempat.

Kelimutu Lake (3 Colours Lake) - Danau Kelimutu (Danau 3 Warna)

Brief Overview - Selayang Pandang

Kelimutu Lake which is located atop Mount Flores is entered in the series of National Parks Flores. The lake is located at an altitude of 1631 meters above sea level. Some of the flora that can be found around the lake, among others Kesambi (Schleichera oleosa), Casuarina (Casuarina equisetifolia) and perennial flower Edelweiss. While the fauna around the lake, including deer (Cervus timorensis), boar (Sus sp.), Forest Chicken (Gallus Gallus) and Eagle (Elanus sp.)...

Danau Kelimutu yang terletak di puncak Gunung Kelimutu ini masuk dalam rangkaian Taman Nasional Kelimutu. Danau ini berada di ketinggian 1.631 meter dari permukaan laut. Beberapa flora yang dapat ditemui di sekitar danau antara lain Kesambi (Schleichera oleosa), Cemara (Casuarina equisetifolia) dan bunga abadi Edelweiss. Sedangkan fauna yang ada di sekitar danau, antara lain Rusa (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus sp.), Ayam hutan (Gallus gallus) dan Elang (Elanus sp.)


Feature - Keistimewaan

Kelimutu Lake has three giant puddle. Each color has a pool of water that is always changing every year. The water in one of three pools of red and can be dark green and red hearts; in other pools of dark green to light green, and in all three pools of brown-black to blue sky.

Danau Kelimutu mempunyai tiga kubangan raksasa. Masing-masing kubangan mempunyai warna air yang selalu berubah tiap tahunnya. Air di salah satu tiga kubangan berwarna merah dan dapat menjadi hijau tua serta merah hati; di kubangan lainnya berwarna hijau tua menjadi hijau muda; dan di kubangan ketiga berwarna coklat kehitaman menjadi biru langit.

Location - Lokasi
 
In administrative, Kelimutu Lake is in 3 districts, namely Detsuko District, District and Sub Wolowaru Ndona, all three are under the auspices of Ende, East Nusa Tenggara Province.
 
Secara adminitratif, Danau Kelimutu berada pada 3 kecamatan, yakni Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru dan Kecamatan Ndona, ketiganya berada di bawah naungan Kabupaten Dati II Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Access - Akses
 
From the provincial capital of NTT, Kupang ie, visitors can use the plane to the town of Ende on Flores Island, with travel time to 40 minutes. Upon arrival in Ende, proceed with using public transportation in the form of a mini bus, heading Kaonara Village, a distance of 93 km, takes about 3 hours. From the Village to the summit Koanara Lake Flores, tourists have to walk along the 2.5 km.

Dari ibukota Propinsi NTT, yakni Kupang, pengunjung dapat menggunakan pesawat menuju kota Ende, di Pulau Flores, dengan waktu tempuh mencapai 40 menit. Setiba di Ende, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum berupa mini bus, menuju Desa Kaonara, yang berjarak 93 km, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Dari Desa Koanara menuju Puncak Danau Kelimutu, wisatawan harus berjalan sepanjang 2,5 km.

Entrance Fee - Tiket Masuk

Until February 2008, reported that on a weekday, visitors are charged entrance fee of IDR 3,000, but on the weekend, ie Saturday and Sunday, visitors are charged IDR 5,000.

Hingga bulan Februari 2008, dilaporkan bahwa pada hari biasa, pengunjung dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp. 3000, namun pada akhir pekan, yakni Sabtu dan Minggu, pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp. 5000.

Accomodation and Other Facilities - Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

For being one of the mainstay attraction for the local government, then the accommodation around the lake enough attention. There is a guard shack, shade shelter for visitors, toilets, ample parking capacity to accommodate approximately 20 cars, as well as several small inns for tourists who want to stay.

Karena menjadi salah satu objek wisata andalan bagi pemerintah setempat, maka akomodasi di sekitar danau cukup diperhatikan. Terdapat pondok jaga, shelter berteduh untuk pengunjung, MCK, kapasitas lahan parkir yang mampu menampung sekitar 20 mobil, serta beberapa losmen kecil bagi para wisatawan yang hendak menginap.